An Indonesian woman, 43 years young, with a life story full of plot twists — the kind that could fill a novel. She's still on her journey, still learning, still evolving. Through every challenge life throws her way, she stands back up, stronger and more determined. She may not have it all figured out (yet), but one thing's for sure: whatever comes her way, she’ll conquer it with grit, grace, and a fire that refuses to burn out.
Friday, 29 May 2015
Mohon petunjukMu
Wednesday, 27 May 2015
Maybe
Maybe it’s time to take the extreme step— to vanish for a while, to disappear into the silence and think.
Maybe this once, I need to put myself first, before anyone else’s wants or needs.
Maybe this once, I should truly listen— not to the noise around me, but to the quiet voice inside my heart.
Maybe this once, I need my own space— a sacred corner to breathe, to reflect, to reevaluate everything.
Maybe this is the chapter of my life I’m meant to embrace, no matter how hard or uncertain.
Maybe this once, I should hold every thought carefully, weigh every feeling before I decide what’s next.
Maybe this once, it’s time to think of my future— my happiness, my dreams, my peace.
Maybe this once, I should be my own greatest concern.
Tuesday, 19 May 2015
Brain Vs Heart
Brain:
Seriously? Why are you still this damn stubborn?
Why not just do something before it’s too damn late and everything burns to ashes?
Heart:
And you — why the hell are you such a pessimist all the time?
Can’t you just for once back me up in the mess I’ve decided to dive into?
Brain:
How the hell can you be this blind?
Are you really that drunk on love that you ignore the disaster staring right at you?
Heart:
Oh please. This is just a stupid phase.
Eventually, reality will slap him awake.
Brain:
Hope all you want, but you’re fooling yourself.
If this keeps going, the mess just gets bigger. No magic fixes here.
Heart:
Typical. You’re bitter and broken.
Why can’t you just admit people can change?
They can be better... sometimes.
Brain:
Ha! You’re so naive it’s tragic.
Look at you—a wreck, smoking your bad habits like they’ll fix anything.
Please, for once, stop wasting your breath hoping for a miracle.
Heart:
Second chances, brain.
Everyone deserves one—even assholes.
Brain:
You keep confusing kindness with stupidity.
There’s a razor-thin line between hope and being played like a fool.
Wake up—he’s been playing you from day one.
Heart:
Oh Brain, what’s wrong with you?
All you do is spit poison whenever we talk.
Why can’t you see any good in anyone?
Or is that just your default setting?
Brain:
Why should I?
Why waste my time waiting for some pathetic “miracle” that’s never coming?
Why chase a ghost while everything else burns?
Heart:
You forget—nothing’s impossible when Allah wills it.
Kun fayakun.
When He says it happens, nothing—not your cynicism, not this mess—can stop it.
Brain:
Fine. I’ll bite.
The impossible becomes possible.
Kun fayakun.
So, what now? What’s your grand plan, oh hopeless dreamer?
Heart:
I’ll do what I always do.
Give it my all, pray hard, and leave the rest to Allah.
Because what else do I have left?
Brain:
Ameen.
Insya Allah.
May He have mercy on you... and on your poor, battered heart.
Heart:
Ameen.
Insya Allah.
Because, damn it, I’m not giving up yet.
Sunday, 17 May 2015
Entahlah
Entahlah, terlalu banyak pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Entahlah, terlalu banyak tanya yang bersarang di sudut pikiranku.
Entahlah, rasa penasaran itu masih saja menghantui, tak mau pergi.
Entahlah, ke mana hilangnya semua kenangan indah dulu?
Entahlah, ke mana lenyapnya rasa cinta dan sayang yang kupikir mampu mengalahkan segala rintangan dan tajamnya duri hidup?
Entahlah, ke mana pergi semangat yang dulu membara untuk memperjuangkan kita?
Entahlah, ke mana sirna gairah membuktikan pada dunia bahwa mereka salah menilai kita?
Entahlah, ke mana hilang rasa tak pedulimu pada segala penilaian dan prasangka dunia?
Entahlah, sejak kapan kita membiarkan dunia mengatur apa yang harus kita lakukan dan tidak lakukan?
Entahlah, ini adalah hidup kita berdua.
Tak seharusnya ada campur tangan dari pihak lain.
Satu yang pasti sejak pertama aku mengenalmu:
Hatiku telah memilih hanya untuk menghabiskan sisa hidup bersama dirimu, bersama anak-anak kita, cucu dan cicit kita nanti.
Tak akan kuizinkan siapapun mengisi ruang hati yang telah kupersembahkan hanya untukmu.
Apapun nanti hasil akhir perjalanan cinta kita, perasaan sayang dan cintaku takkan pernah berubah.
Aku masih berharap, akhir cerita kita akan indah.
Aku berharap Allah SWT mendengar dan mengabulkan doaku.
Saturday, 16 May 2015
Terima kasih
Terima kasih atas pelajaran yang kau beri, walau pahit bagai racun.
Percayalah, aku sudah terlalu jauh untuk peduli.
;)
Monday, 11 May 2015
They were right aren't they?
They were right. Of course they were right.
Right from the very first whisper of doubt, those prophets of doom never missed a beat.
And here we are—standing at the carcass of what once dared to be called love, while they watch with smug satisfaction from the sidelines.
How poetic that the very war we waged to prove them wrong has become the epitaph of our story.
We screamed, we clawed, we begged the world to see us as more than the tragic cliché they predicted.
And yet, here we are—two strangers masquerading behind tattered masks of familiarity, like actors too exhausted to remember their lines, playing a script we no longer understand.
What happened to us?
Did love ever live here?
Or was it a fleeting ghost, a fragile delusion we chased to drown out the cold silence?
I clutch to the shards of our past, searching desperately for that flicker of warmth, but all I find is a void—blacker than the night and deeper than regret.
They say there’s always a silver lining.
That every storm births a dawn.
But in this labyrinth of broken promises and shattered dreams,the only thing shining is the cruel truth: there is no light here.
Just endless darkness, thick and suffocating.
I want to believe—oh, how desperately I want to believe— that from this wreckage, we could build something beautiful again.
That the ashes might birth a phoenix of hope, rising triumphant from despair.
But the truth gnaws at me like a vulture’s beak— we are too far gone, too poisoned by bitterness and lies.
This is the end.
Funny how your absence now feels like peace.
Like the calm after a storm that nearly drowned me.
A relief so sharp it almost hurts less than your presence.
So tell me—who are we fooling?
Look at us, dissect the ruins of what we were.
Two ghosts haunting the same empty rooms, holding hands with nothing but memories that bleed.
How did this masterpiece of failure come to be?
Was it ever love, or just a clever disguise for two souls too stubborn to quit?
If there is no love left—if all that remains is the echo of what we once had—let’s be brutal enough to admit it.
Look each other in the eyes and say the words that will shatter the fragile illusion.
Yes, it will break us.
Yes, it will sting like poison on raw skin.
But it will be honest.
And maybe—just maybe—that honesty will be less cruel than this slow decay of pretense.
I’m begging you—just this once—wear the cloak of a gentleman.
Speak with the honesty you’ve buried under lies and silence.
Or at least fake it better than this grotesque pantomime we call a relationship.
Because I am done.
Done with the lies.
Done with the pain.
Done with pretending that we could ever outrun the truth.
And if this is goodbye, then let it be sharp.
Let it be final.
Let it burn so fiercely that no one will ever forget the wreckage left behind.
Because sometimes love isn’t enough.
Sometimes it’s just a beautiful lie before the darkness swallows you whole.
And maybe that’s exactly where we’ve landed.
How to respond
Mohon petunjukMu tentang pernikahan kami
Sunday, 10 May 2015
Mohon petunjukMu
Thursday, 7 May 2015
Mohon petunjukMu Ya Allah
Saturday, 2 May 2015
Sejenak
Sejenak ini, aku ingin berteriak—bukan sekadar lirih, tapi teriakan yang mampu mengguncang bumi, menumpahkan lautan emosi yang selama ini kusimpan rapat dalam dada yang hampir pecah.
Aku ingin meluapkan kemarahan, kekecewaan, dan rasa hampa yang merayap diam-diam tanpa ampun.
Terkadang, aku membayangkan mengibarkan bendera putih, menyerah tanpa syarat, dan meninggalkan semua ini tanpa pernah menoleh ke belakang.
Pergi—hilang dalam bayang-bayang tanpa jejak, seolah-olah semua luka ini hanyalah mimpi buruk yang bisa kuhapus dengan langkah yang angkuh dan dingin.
Namun, ironisnya, setiap kali aku mendekati pintu itu, bayangan perjuangan dulu membayang.
Perjuangan yang melelahkan, penuh darah dan air mata, yang membawaku ke titik ini—ke titik di mana aku berdiri sekarang, terjebak di antara ingin menyerah dan bertahan yang kini nyaris tak lagi punya arti.
Tentu saja, ada jalan keluar mudah: lari dari semuanya, putuskan segalanya dalam sekejap, dan biarkan penyesalan datang sebagai tamu tak diundang di kemudian hari.
Ah, betapa menyenangkannya membayangkan solusi instan tanpa konsekuensi, seolah-olah hidup ini adalah drama murahan yang bisa diganti adegannya sesuka hati.
Tapi, di sinilah aku, dengan sisa kesadaran yang nyaris pudar, bertanya dalam kelam: Apa yang akan terjadi ketika malam tiba dan aku harus menatap wajahku sendiri di cermin?
Apakah aku akan melihat seorang pejuang yang pernah berani, atau hanya pecundang pengecut yang memilih menyerah demi kenyamanan semu?
Biarkan saja dunia ini terus berbisik, dengan segala kebusukan, kepalsuan, dan penghinaan yang mengalir deras seperti racun.
Biarkan mereka menertawakanku, meremehkanku, bahkan menguburku dengan kata-kata penuh kebencian.
Aku tidak akan gentar.
Aku tidak akan mundur.
Aku siap berperang sendirian—melawan seluruh dunia yang penuh dengan kepalsuan dan semesta yang membenci.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berhak menentukan bagaimana aku harus hidup.
Hidupku bukanlah panggung sandiwara untuk mereka mainkan.
Aku adalah penulis naskahku sendiri—dan biar kutegaskan, ini adalah kisah kelam yang kutulis dengan tinta darah dan air mata.
Mungkin sekarang aku belum punya jawabannya, mungkin aku masih tersesat dalam labirin rasa sakit dan kebingungan.
Tapi aku tahu, entah kapan, entah bagaimana, aku akan menemukan jawaban itu—sebuah formula sempurna yang hanya bisa lahir dari puing-puing kehancuran ini.
Ini hidupku, damn it.
Aku tidak akan membiarkan siapapun—apalagi mereka yang hanya menonton dari jauh dan menghakimi—mengatur langkahku.
Kalau mereka mengira aku akan berhenti karena bisik-bisik mereka, mereka keliru.
Kalau mereka berharap aku akan runtuh karena hinaan mereka, mereka salah besar.
Karena dalam gelapnya penderitaan ini, aku menemukan kekuatan yang tidak mereka punya.
Jadi biarlah mereka sibuk menghakimi, menyebarkan racun, dan berpuas diri dalam kebodohan mereka.
Aku?
Aku masih di sini.
Masih berjuang.
Masih menulis ceritaku—tanpa rasa takut, tanpa penyesalan.
Karena di ujung segala kelam ini, ada satu hal yang pasti: aku masih hidup.
Dan selama aku masih hidup, aku akan terus berperang—sendirian, jika perlu—melawan dunia yang tidak pernah peduli.
Mohon petunjukMu
Friday, 1 May 2015
I miss the old us
Ya Allah, Ya Rabb...
Aku merindukan suamiku.
Aku merindukan sosoknya yang dulu,
Aku merindukan kita yang dulu, yang sederhana dan penuh harap. ;)
Ya Allah, Ya Rabb...
Saat ini, aku benar-benar sangat membutuhkan dia.
Kehadirannya, kasih sayangnya, dukungan yang dulu selalu menyertai.
Aku rindu semua itu—seolah itu adalah udara yang membuatku tetap bernapas.
Aku sadar, keadaan ini benar-benar berantakan, penuh luka dan kesalahan.
Satu langkah salah bisa menghancurkan pernikahan ini menjadi serpihan tak berdaya.
Ya Allah, Ya Rabb...
Jika pernikahan kami memang ditakdirkan panjang, hingga kami berdua dipanggil kembali kepada-Mu,
Tunjukkanlah kepada kami jalan keluar, sebuah petunjuk dari-Mu untuk menyelesaikan kekacauan ini.
Berikanlah kami hikmah dan kekuatan untuk memperbaiki semuanya, Agar kami bisa membangun kembali cinta yang hampir pudar.
Aku panjatkan doa shalat istikharah, memohon petunjuk-Mu:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ...
(“Ya Allah, hamba memohon agar Engkau memilihkan yang terbaik untukku...”)
Ya Allah, jika perkara ini baik bagi agama, kehidupan, dan akhiratku,
Maka mudahkanlah dan berkahilah.
Namun, jika ini adalah keburukan bagiku, jauhkanlah aku darinya dan tetapkanlah aku pada kebaikan di mana pun berada.
Ya Allah, Ya Rabb...
Jika memang Engkau takdirkan kami berjalan bersama sampai akhir hayat,
Lembutkanlah hati kami, tuntunlah kami melewati badai ini,
Hapuskan segala dendam, amarah, dan kebencian yang menyelimuti jiwa kami.
Bersihkanlah hati kami dari segala rasa sakit yang membelenggu,
Berikanlah ketenangan, kejernihan pikiran untuk menemukan solusi terbaik.
Mudahkanlah jalan kami, lancarkan segala urusan yang terasa berat,
Sampaikanlah kami pada perdamaian yang kami rindukan.
Meskipun segala luka yang kami timbulkan,
Aku tetap mencintainya dalam diam,
Aku tetap membutuhkannya lebih dari sebelumnya.
Aku butuh kehadirannya, cintanya, dan dukungannya—
Lebih dari apa pun di dunia ini.
Aku rela memaafkan dan melupakan,
Karena aku sadar kami adalah satu kesatuan,
Saling melengkapi dalam suka dan duka.
Ya Allah, Ya Rabb...
Lembutkanlah hati suamiku,
Hapuskan amarah dan emosi buruk yang mengusik jiwanya,
Lindungilah dia dalam setiap langkah dan perjalanan hidupnya.
Berikanlah dia pencerahan, agar tak terus terperangkap dalam kegelapan,
Jauhkan dia dari jalan yang salah dan perbuatlah hati kami selalu selaras.
Berikanlah kami petunjuk-Mu untuk melewati semua permasalahan ini,
Aamiin, ya Rabbal ‘Alamin.