Sejenak ini, aku ingin berteriak—bukan sekadar lirih, tapi teriakan yang mampu mengguncang bumi, menumpahkan lautan emosi yang selama ini kusimpan rapat dalam dada yang hampir pecah.
Aku ingin meluapkan kemarahan, kekecewaan, dan rasa hampa yang merayap diam-diam tanpa ampun.
Terkadang, aku membayangkan mengibarkan bendera putih, menyerah tanpa syarat, dan meninggalkan semua ini tanpa pernah menoleh ke belakang.
Pergi—hilang dalam bayang-bayang tanpa jejak, seolah-olah semua luka ini hanyalah mimpi buruk yang bisa kuhapus dengan langkah yang angkuh dan dingin.
Namun, ironisnya, setiap kali aku mendekati pintu itu, bayangan perjuangan dulu membayang.
Perjuangan yang melelahkan, penuh darah dan air mata, yang membawaku ke titik ini—ke titik di mana aku berdiri sekarang, terjebak di antara ingin menyerah dan bertahan yang kini nyaris tak lagi punya arti.
Tentu saja, ada jalan keluar mudah: lari dari semuanya, putuskan segalanya dalam sekejap, dan biarkan penyesalan datang sebagai tamu tak diundang di kemudian hari.
Ah, betapa menyenangkannya membayangkan solusi instan tanpa konsekuensi, seolah-olah hidup ini adalah drama murahan yang bisa diganti adegannya sesuka hati.
Tapi, di sinilah aku, dengan sisa kesadaran yang nyaris pudar, bertanya dalam kelam: Apa yang akan terjadi ketika malam tiba dan aku harus menatap wajahku sendiri di cermin?
Apakah aku akan melihat seorang pejuang yang pernah berani, atau hanya pecundang pengecut yang memilih menyerah demi kenyamanan semu?
Biarkan saja dunia ini terus berbisik, dengan segala kebusukan, kepalsuan, dan penghinaan yang mengalir deras seperti racun.
Biarkan mereka menertawakanku, meremehkanku, bahkan menguburku dengan kata-kata penuh kebencian.
Aku tidak akan gentar.
Aku tidak akan mundur.
Aku siap berperang sendirian—melawan seluruh dunia yang penuh dengan kepalsuan dan semesta yang membenci.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berhak menentukan bagaimana aku harus hidup.
Hidupku bukanlah panggung sandiwara untuk mereka mainkan.
Aku adalah penulis naskahku sendiri—dan biar kutegaskan, ini adalah kisah kelam yang kutulis dengan tinta darah dan air mata.
Mungkin sekarang aku belum punya jawabannya, mungkin aku masih tersesat dalam labirin rasa sakit dan kebingungan.
Tapi aku tahu, entah kapan, entah bagaimana, aku akan menemukan jawaban itu—sebuah formula sempurna yang hanya bisa lahir dari puing-puing kehancuran ini.
Ini hidupku, damn it.
Aku tidak akan membiarkan siapapun—apalagi mereka yang hanya menonton dari jauh dan menghakimi—mengatur langkahku.
Kalau mereka mengira aku akan berhenti karena bisik-bisik mereka, mereka keliru.
Kalau mereka berharap aku akan runtuh karena hinaan mereka, mereka salah besar.
Karena dalam gelapnya penderitaan ini, aku menemukan kekuatan yang tidak mereka punya.
Jadi biarlah mereka sibuk menghakimi, menyebarkan racun, dan berpuas diri dalam kebodohan mereka.
Aku?
Aku masih di sini.
Masih berjuang.
Masih menulis ceritaku—tanpa rasa takut, tanpa penyesalan.
Karena di ujung segala kelam ini, ada satu hal yang pasti: aku masih hidup.
Dan selama aku masih hidup, aku akan terus berperang—sendirian, jika perlu—melawan dunia yang tidak pernah peduli.
No comments:
Post a Comment