Ingin rasanya…
Pergi jauh, melanglang buana,hanya untuk menghapus rasa dan asa.
Ingin rasanya menyerah, karena sadar tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan semuanya.
Ingin rasanya berhenti berharap, menyudahi semua perjuangan yang terasa sia-sia.
Ingin rasanya mengutuk keadaan, tapi kutukan tak pernah menyelesaikan apa pun.
Ingin rasanya membakar bara di dada, namun untuk apa—jika hanya menyisakan abu?
Ingin rasanya menghentikan waktu, agar tak perlu terus menanggung luka.
Ingin rasanya memiliki mesin waktu, dan kembali ke masa lalu… sebelum semua ini rusak.
Ingin rasanya berdiri di tanah lapang, berteriak sekuat-kuatnya, menumpahkan semua yang tertahan.
Ingin rasanya menyerah sepenuhnya, karena seakan tak ada lagi yang tersisa.
Ingin rasanya berdamai dengan kenangan, dan berharap ia kembali menetap, walau hanya sebentar.
Ingin rasanya menangis, namun air mata sudah kering… lelah dan habis.
Ingin rasanya pergi,tanpa menoleh ke belakang—tanpa pamit, tanpa jejak.
Ingin rasanya melakukan semua hal yang seharusnya kulakukan sejak dulu.
Ingin rasanya percaya bahwa ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu saat fajar datang.
Ingin rasanya berhenti berharap… bahwa segalanya akan kembali seperti semula.
Ingin rasanya menyambut amnesia, agar bisa melupakan semua luka yang pernah ada.
Ingin rasanya melakukan semuanya…
Tapi apa daya, hati dan akal tak pernah sejalan.
Meski berpura-pura kuat, topeng ini terlalu rapuh untuk terus dikenakan.
Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu, berapa banyak peluang untuk melepaskan semua ini.
Tapi tak satu pun benar-benar dijalankan, karena hati tahu…
dia tak bisa meninggalkan tuan pemiliknya.
Hati tahu, tanpa sang pemilik, ia kehilangan makna.
Hati tahu, ada kontrak suci yang mengikat, yang tak bisa dibatalkan tanpa alasan yang benar-benar nyata.
Hati paham, bahwa semua ini adalah proses pendewasaan.
Namun akal tak sepenuhnya setuju.
Akal berkata lantang:
"Kumohon, langkahkan kaki sebelum semuanya jadi nyata yang menyakitkan."
"Percayalah padaku kali ini, karena hanya aku yang bisa berpikir jernih."
"Apa lagi yang kau harapkan dari kondisi seperti ini? Sudahlah… turuti aku sebelum terlambat."
Tapi hati hanya diam…
karena ia tahu, akal tak sedang berdusta.
Namun hati tetap menolak dengan lembut:
"Maaf, untuk kali ini aku tak bisa setuju. Karena aku percaya, cinta hanya tersesat… dan akan segera kembali."
Akal terdiam.
Ia tahu, hati sedang jujur.
Dengan lirih, akal berkata:
"Baiklah… kali ini, kau yang menang. Hanya engkau yang benar-benar mengenal cinta."
"Tapi ingat pesanku: jangan datang padaku dengan tangis, jika semua yang kuperkirakan akhirnya jadi kenyataan."
Akal pun pergi meninggalkan hati yang masih berdiri di tempat.
Dan hati pun berujar pelan:
"Aku mengenalnya… dia hanya tersesat.
Dan aku yakin, dia akan kembali."
Semoga saat cinta sadar…
aku masih ada di sini.
Semoga saja. 😉
No comments:
Post a Comment