Ketika rasa dan asa perlahan tergerus oleh dinginnya hati yang tak lagi peduli.
Ketika semua upaya yang dulu dilakukan dengan sepenuh hati, kini seolah tak berarti.
Ada masanya ketika niat tulus untuk memperbaiki justru disalahpahami, dilihat sebagai kelemahan, atau bahkan dicurigai sebagai manipulasi.
Rasanya seperti menanam bunga di tanah yang tak subur—berharap mekar, namun yang tumbuh hanyalah luka.
Ketika niat baik disalahartikan, luka itu semakin dalam.
Ketika niat untuk tetap tinggal dan memperjuangkan dianggap sebagai bentuk kelemahan, bukan kekuatan.
Lalu, bagaimana jika yang diperjuangkan tak lagi menghargai?
Bagaimana jika yang kita jaga, justru memilih untuk menjauh dan menutup mata dari segala bentuk cinta yang diberikan?
Ketika tekad untuk bertahan hanya dibalas dengan diam dan sikap acuh, dunia rasanya mengecil, menjadi ruang sempit yang penuh pertanyaan tak terjawab.
Semua usaha untuk memperbaiki, untuk berubah menjadi lebih baik, dipandang sebelah mata, seolah-olah tak pernah ada artinya.
Bahkan senyum tulus pun perlahan kehilangan makna, karena tak lagi dibalas dengan hangatnya penerimaan.
Segala harapan yang dulu coba diwujudkan satu per satu, kini tampak sia-sia.
Saat perjuangan nyata tak pernah dilihat, apalagi dihargai.
Ketika hati yang pernah menyala kini menjadi abu, dan semua pengorbanan terasa diabaikan begitu saja.
Perihnya tak lagi bisa dijelaskan dengan kata.
Hanya dada yang mengembang menahan sesak, dan mata yang menolak menangis meski air mata sudah menggantung di pelupuk.
Daya dan upaya sudah dikerahkan sekuat tenaga.
Benteng keangkuhan coba diruntuhkan dengan kesabaran dan kasih sayang.
Tapi jika yang dihadapi adalah hati yang membeku, seberapa besar pun nyala cinta, ia akan padam juga.
Dan ketika semua telah dilakukan, dan yang tersisa hanyalah doa yang lirih, maka satu-satunya yang bisa diandalkan hanyalah petunjuk dari Tuhan.
Allah SWT, satu-satunya tempat bergantung saat dunia manusia tak lagi berpihak.
Lalu, jika akhirnya seseorang memilih berhenti berjuang, itu bukan tanda lemah.
Itu tanda bahwa semua cara sudah ditempuh.
Bahwa cinta pun punya batas, bahwa bahkan hati yang paling sabar pun bisa lelah.
Ketika tak ada lagi yang bisa diselamatkan, maka melepaskan menjadi satu-satunya jalan yang masuk akal.
Bukan karena tak cinta lagi, tapi karena cinta pada diri sendiri lebih penting.
Tapi, yang paling menyakitkan adalah saat kemungkinan penyesalan datang menghampiri.
Penyesalan itu akan hadir dengan wajah yang khas, membawa bayang-bayang masa lalu yang tak bisa kembali.
Ia datang tanpa diundang, dan begitu menetap, sulit sekali diusir.
Ia akan bertanya, "Kenapa tak lebih menghargai dulu? Kenapa tak mencoba memahami lebih dalam?"
Ketika penyesalan mengetuk pintu, kita mungkin akan mencoba mencari ulang perjuangan yang dulu pernah datang.
Mencari kembali senyum yang pernah ditawarkan, tangan yang dulu menggenggam erat, dan pelukan yang pernah menguatkan.
Tapi saat itu, semuanya mungkin sudah tak ada.
Yang tersisa hanya kenangan, dan sesal yang tak bisa diperbaiki.
Segala bentuk daya, cinta, pengorbanan, dan ketulusan yang dulu ditawarkan dengan penuh cinta, takkan bisa dipanggil kembali ketika semuanya sudah hilang.
Maka berhati-hatilah.
Jangan sampai yang tersisa hanyalah sepi yang menggema, dan wajah seseorang yang dulu mencintai kita sepenuh jiwa tapi kini telah pergi.
Pastikan bahwa penyesalan dan rasa bersalah tak pernah diberi kesempatan untuk datang menyapa.
Karena ketika mereka datang, itu artinya sudah tak ada lagi yang bisa diubah.
Dan satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah menanggung semua rasa yang tertinggal.
Jangan anggap diam sebagai tanda setuju.
Jangan anggap kesabaran sebagai kelemahan.
Jangan abaikan cinta yang terus berusaha bertahan meski berkali-kali terluka.
Jangan tunggu sampai ia pergi, baru kemudian kau sadar bahwa tak ada lagi cinta seperti itu.
Ketika seseorang memutuskan untuk berhenti berjuang, itu bukan karena ia tak lagi peduli.
Tapi karena hatinya sudah terlalu lelah, terlalu sering diabaikan, terlalu sering disalahpahami.
Dan ketika ia pergi, ia tak akan kembali.
Karena untuk kembali, butuh alasan yang lebih besar dari luka yang ditinggalkan.
Jika suatu hari nanti kau terbangun dan menyadari bahwa yang kau tinggalkan adalah satu-satunya orang yang benar-benar mencintaimu tanpa syarat, maka hadapilah penyesalan itu dengan keberanian.
Tapi ketahuilah, bahwa tidak semua pintu yang tertutup bisa dibuka kembali.
Tidak semua hati yang hancur bisa disatukan lagi.
Jadi, selama masih ada waktu, hargailah.
Dengarkan.
Pahami.
Jangan biarkan egomu membungkam suara hati orang yang mencintaimu.
Jangan tunggu sampai semua kata tak lagi diucap, semua peluk tak lagi dirasa, dan semua harapan tak lagi hidup.
Karena ketika semuanya telah pergi, maka satu-satunya yang tersisa hanyalah dirimu… dan penyesalan.
No comments:
Post a Comment